Laman

Label

Senin, 29 Juni 2015

Sentilan Tuhan

Kali ini aku mau berbagi sebuah tulisan singkat, tentang pengalamanku disentil Tuhan.. Hehe

Pernahkah kau merasakan sentilan Tuhan?

Ya.. inilah yang aku rasakan kembali hari ini. Sebuah sentilan yang benar-benar nyata. Sebuah alaram yang mengingatkan bahwa ada hal yang tidak benar dalam diriku saat ini.
Lagi-lagi tentang niat. Yups… Niat yang kembali ternodai oleh hal-hal yang tak sepatutnya bersemayam dalam diri. Kau tahu? Allah mempunyai begitu banyak cara untuk mengingatkan kembali hambanya yang lalai. Untuk kemudian meluruskan kembali niatan-niatan yang mulai bengkok dari jalur yang semestinya dilalui.

Begitu halusnya niat, hingga ia begitu mudah terombang ambing diterpa angin kekufuran. Begitu ringannya niat, hingga mudah terbang dan terbawa arus angin yang melambai. Sedangkan niat, adalah suatu hal yang menjadi penentu utama diterima atau tidaknya sebuah amal.

Tatkala musibah menghampiri, diri ini begitu fasih dalam mengeluhkan apa yang terjadi. Lantas melupakan semua keni’matan yang telah banyak diterima seketika itu juga.

Aku sering sekali merasa menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan, atau aku ucapkan. Hingga rasanya ingin selalu mundur, dan kemudian menghilang dari peredaran bumi, hingga tiada lagi yang mengenaliku. Tapi, apalah arti menghilang dan lari dari sebuah permasalahan. Ini memang hanya masalah segumpal daging yang penuh rasa. Yap.. hanya masalah pengolahan hati.

Sedangkan dari sebuah kesuksesan, aku justru makin sering dibuatnya lalai. Ketika syaithon begitu cerdik menyelipkan niatan-niatan yang salah di dalam hatiku. Kemudian membengkokkan kembali niatan yang dengan susah payah ku jaga agar tetap lurus.

Sempat juga aku terbuai oleh sebuah iming-iming ketenaran menjadi seorang penulis. Dimana namaku akan begitu dikenal di khalayak umum, dengan bukuku yang akan terpajang manis di rak-rak toko buku. "Aaah.. bangganya, bahagianya, senangnya". Namun, Apalah arti sebuah kebanggaan tatkala tiada keberkahan di dalamnya?

Dan hal ini terjadi tatkala namaku, untuk pertama kalinya bisa terpajang manis di sebuah cover buku. "Penulis", begitulah mereka menyebutku. Lantas, dengan bangganya aku memamerkan karya yang sungguh tiada apa-apanya itu di sosial media. Ya.. bahwa aku telah berhasil menjadi salah satu penulis bareng orang ternama. Namun, ketidak tenangan tiba-tiba mengusikku.

Aku mulai yakin, bahwa sentilan Tuhan itu memang benar-benar nyata. Kala itu, aku mulai rajin membaca buku. Dan saat aku membaca sebuah buku yang berjudul Lapis-Lapis Keberkahan karya Ust. Salim A Fillah, rasanya batinku semakin terguncang. Setiap kata-katanya benar-benar menyentilku. Beliau yang tulisannya begitu mengagumkan saja, tak pernah berharap  terkenal dari apa yang beliau tulis. Sedangkan aku? hanya tulisan tanpa makna yang berarti. Penyesalan merambat ke sekujur tubuh, hingga aku merasa menyesal telah mendeklarasikan buku pertamaku di khalayak umum. Rasanya, aku tak ingin lagi menjadi seorang penulis. Tapi, apa itu solusi yang benar? sayangnya bukan. Benahi niat! itu saja.

"Aku malu" seruku.
Dan sang penyemangat...
"Tatap mata aku, come on dear, kamu nggak boleh kayak gini"
"Aku justru bangga padamu, nggak nyesel kenal sama kamu"
"Kamu pasti bisa"

Begitulah seterusnya, hingga aku benar-benar memperoleh kembali kepercayaan diriku. Dan aku kembali menulis. Menulis tentang apa yang bisa aku tulis agar benar-benar bisa menjadi karya yang baik.

Beberapa waktu yang lalu juga sempat membaca sekilas tentang penulis novel ternama ~Tere Liye~ . Termasuk salah satu penulis yang tidak suka di ekspose. Seketika aku pun kagum dibuatnya. Hingga akhirnya membuatku ingin menjadi penulis seperti beliau. Dan biarlah hanya karyaku yang dikenal, tanpa mengetahui siapa aslinya diriku. Aku ingin memakai nama pena, batinku.

Tapi... begitulah hati. Begitu gampang terombang-ambing tanpa henti, tanpa jeda yang nyata. Rasa ingin mendapatkan royalti yang cukup fantastis membuatku tergoda. Dan bengkoklah kembali niat yang begitu lama kuluruskan dengan susah payah. Hingga akhirnya Allah kembali menyentilku lagi, melalui sebuah status tentang percakapan antara Ibu dan anak.

Anak : Bu, bagaimana caranya menulis biar cepat dapat uang?
Ibu : Kalau kamu ingin cepat dapat uang, lebih baik kamu ke jalan, kemudian jualan koran. Itu sudah pasti akan langsung mendapatkan uang.

"Menulislah dengan hati, bukan melulu royalti", sebuah kata-kata dari teman di grup Young Writer. Yap benar, bahwa menulis itu bukanlah royalti yang menjadi sasaran utama. Menulis yaa menulis saja, gak usah pake embel-embel. Yang penting tulisan itu manfaat, insyaallah berkah. Menulis itu hobi, bukan profesi untuk mengalirkan royalti.

Jadi teringat pula sebuah tulisan dari mas A Rifa'i Rifan, bahwa apa yang dikejar akan semakin lari. Hingga kau benar-benar mengerti arti sebuah kesyukuran, keyakinan, tawakkal, dan pasrah dengan keputusan Allah. Jangan jadikan sesuatu keinginan itu sebagai obsesi yang harus dipenuhi. Karena sejatinya, Allah lebih mengerti apa yang kita butuhkan daripada diri kita sendiri.

Dan sentilan Tuhan itu memang benar-benar nyata~

Kalau kau ingin mundur dari apa yang kau tekuni, cobalah pikirkan kembali secara matang-matang. Betapa banyak hal istimewa yang telah Allah titipkan melalui kegiatan itu. Bahkan mungkin, Allah menitipkan banyak keberkahan, kesuksesan, kebahagiaan, dll yaa dari apa yang kamu kerjakan. Jadi... Kalau ada sesuatu yang mengganjal dan tidak menenangkan hati, berhenti bukanlah solusi. Tapi, perbaiki niat dan perbaiki diri. Insyaallah.

Jika kau merasa ada yang salah dari kegiatan menulismu, maka bukan berhenti menulis solusinya. Tapi, perbaiki niat, dan perbaiki kualitas tulisan hingga layak untuk memperoleh keberkahan. Bismillah... kembali charge semangat. :)


Ba'da Tarawih, 13 Ramadhan 1436 H
Salam dari hati yang paling dalam
Aisyah El Fayruz
@istfun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya.. jangan lupa tinggalkan komentar dan follow g+ yaa.. ^_^