Laman

Label

Kamis, 20 Agustus 2015

Tentang Mimpi

Pagi ini, tiba-tiba pengen baca ulang sebuah buku antologi yang berjudul jangan manja. Di situ saya terperangah oleh sebuah kisah perjuangan Mbak Belgis dalam meraih semua mimpinya. Tak mudah, itulah hidup. Tapi saya sungguh merasa salut dengan keyakinannya yang begitu kokoh tentang pencapaian semua mimpinya. Tentu sangat berbeda dengan saya, yang tak pernah berbuat apa-apa dengan mimpi saya. Bahkan entah seperti apa impian saya yang sebenarnya.

Sama seperti halnya anak-anak pada umumnya. Sedari kecil, impian saya selalu berpindah-pindah. Hari ini pengen jadi guru, pengusaha, besoknya pengen jadi dokter. Pas melihat ada Polwan yang membanggakan, langsung banting setir, pengen jadi polwan. Bahkan, saat SMA pun, saya masih sempat merubah mimpi untuk menjadi koki.
Tak pernah sedikit pun ada bayangan untuk masuk ke dunia kepenulisan dan belajar untuk menulis. Bahkan, pernah saat saya masih kelas 4 SD, ada seleksi olimpiade. Saya memilih ikut Matematika. Saya suka Matematika, saya selalu ingin seperti Mas yang berkali-kali menyabet trophy tiap Olimpiade Matematika. Setumpuk piagam selalu membuat saya iri. Meski terkadang, saat lomba sempat ditinggal tidur sampai dibangunkan penjaganya, juara 1 bisa dengan mudah diraihnya. Dari kabupaten,Profinsi, Olimp Jawa Bali, Olimp di Brawijaya, dan masih banyak lagi. Prestasi itu selalu membuat saya iri, dan bertekat untuk mengikuti jejaknya. Tapi Tuhan memberikan kami kemampuan yang berbeda.
Saya gagal ikut Olimpiade Matematika. Sedih sekali waktu itu. Namun, tiba-tiba seorang guru wali kelas 3 menghampiri saya, menawarkan untuk ikut lomba mengarang cerita. Beliau menawari saya, karena beliaulah dulu yang memberi nilai bagus dalam tugas karangan cerita saat beliau masih menjadi guru kelas saya. Tapi sayang, saya lebih memilih menolak tawaran itu. Saya terlanjur kecewa karena tidak terpilih di Matematika. Padahal materi karangannya sangat mudah. Akhirnya saya hanya bisa menjadi penonton, karena pas sekolah saya yang menjadi tuan rumah waktu itu.
Saat lulus dari MTs, sempat punya keinginan untuk ke pesantren. Tapi niat itu pupus, karena rasanya tak mungkin bisa bersekolah sambil mondok. Biaya yang harus ditanggung orang tua pasti akan sangat banyak. Belum lagi harus membiayai sekolah adik. Sempat pula punya keinginan untuk mengikuti jejak Mas, sekolah di SMA favorit. Tapi saya sadar, saya tak semahir Mas. Kalaupun andai saja saya bisa diterima saat tes, saya merasa percuma. Karena di sana saya hanya akan menjadi siswi yang biasa-biasa saja. Tanpa kelebihan, tak ada yang menonjol. Sedangkan untuk bisa bersekolah di SMA yang bonafit seperti itu, pilihannya hanya 2. Bayar sangat mahal, atau jadi siswa yang prestasinya melejit agar bisa peroleh beasiswa. Dan itu terasa mustahil bagi saya. Saya tak sama dengan Mas yang jago Matematika.
Akhirnya, SMA swasta dan pariwisata dengan ekstra kurikuler yang bejibun, dengan prestasi non akademiknya yang beruntun menjadi pilihan saya. Tentu, di bidang akademik, tak akan sesulit di SMA favorit untuk meraih rangking. Keinginan untuk seperti Mas belum juga pupus. Kalau ada seleksi olimpiade Matematika, saya pasti ikut. Tapi hanya kekalahan yang saya peroleh. Berulang kali. Dan di detik-detik terakhir, kepala sekolah merekomendasikan saya langsung untuk mengikuti Olimpiade Fisika. Senang sekali. Tapi sayang, sekali lagi saya harus menerima kenyataan bahwa saya bukan Mas, yang bisa dengan mudah menakhlukkan bangku olimpiade dengan ratusan rumus. Tak satu pun trophy saya peroleh.
Kesenangan dengan dunia menulis berawal dari sini. Saat lagi-lagi pak kepsek merekomendasikan saya langsung untuk mengikuti Karya Tulis Remaja. Alhasil, dengan tim 3 orang, setidaknya lumayan bisa masuk 10 besar, dengan pesaing yang notabenenya para mahasiswa dan guru.
Terjun ke dunia jurnalistik sekolah, membuat saya sempat bermimpi untuk menjadi jurnalis dan fotografer. Bergelut dengan majalah dan koran. Bahkan, sempat juga berpikir menjadi koki semenjak Pak Kepsek lagi-lagi meng-amanahi saya untuk mendirikan kembali kantin mie yang lama tak terpakai, hingga memperoleh omset yang berlipat-lipat dari modal awal. Dan memutuskan ikut training di sebuah Hotel bagian food & Beverage, sesuai rekomendasi guru ekstra kurikuler fruit & vegetable carving di sekolah. Saya pun jadi berkeinginan untuk menjadi koki, padahal sejujurnya saya tak mahir memasak, hanya punya sedikit ilmu carving. Hehe
Lagi-lagi hanya bayangan, sebuah angan kosong. Yang sebenarnya semua itu tak layak disebut sebagai mimpi. Saya tidak benar-benar mengerti apa mimpi saya. Bayangan untuk besar menjadi apa, membangun apa, mewujudkan apa. Saya tak benar-benar mengerti.
Kuliah? Jangan tanya, karena saya belum pernah merasakan makan bangku kuliah. Sempat daftar beasiswa di sebuah fakultas di Malang, ambil opsi fisika dan pertanian. Sedari kecil memang sudah hobi koleksi pohon buah-buahan. Dan SD pun sudah semangat mencari tahu tentang teknik hidroponik. Sayangnya, tempat tinggal saya tak mendukung untuk mempelajari pertanian hidroponik.
Untuk Mas yang prestasinya bejibun saja, orang tua berat hati untuk mengizinkannya kuliah, karena dirasa biayanya akan sangat banyak. Apalagi untuk saya? Yang bahkan sebuah trophy pun tak punya. Dan benar saja, usaha tanpa restu orang tua hanya akan sia-sia. Saya gagal peroleh beasiswa, disamping memang saya tak memiliki kecerdasan lebih.
Mimpi? Saya kemanakan akhirnya semua mimpi itu? Entahlah. Sejak itu, saya berasa tak lagi punya mimpi. Bahkan seolah saya tak lagi mengenal mimpi. Menjadi seorang gadis, tak pernah membuat orang tua saya melepaskan begitu saja, bekerja dimanapun saya mau. Tidak. Bahkan orang tua saya tak pernah mengizinkan untuk bekerja di kota, sekalipun dengan janji masa depan yang lebih baik. Cukup bagi mereka bisa melihat saya berangkat pagi, dan sore sudah di rumah.
Mas selalu berkata kalau saya lebih cocok dunia administrasi dan berdagang, karena sedari kecil selalu berkecimpung di bagian keuangan. Beberapa kali mencoba, tetap saja belum bisa fokus, di samping orang tua juga tak begitu yakin dan mendukung. Ibu tahu berdagang itu tak mudah. Itulah yang Ibu alami sebagai pedagang buah-buahan.
Saat saya memutuskan untuk mulai belajar menulis, sempat menuai berbagai kendala. Tak ada dukungan dari orang tua, bahkan sempat dimarahi tiap kali bangun-bangun pukul tiga pagi sudah berada di depan laptop karena disangka ngegame. Pas saya jelaskan kalau sedang menulis antologi bareng Bu Dian yang sedang di Turki, malah mendapatkan pertanyaan yang akhirnya membuat saya down, "Buat apa sih itu memangnya? Gunanya apa?" Seperti itulah pemikiran mereka, yang notabenenya memang tak punya pendidikan tinggi.
Sejak saat itu, saya mulai malas untuk menulis lagi, tak ada semangat, tak ada dorongan. Hanya Mas yang selalu mendukung. Hingga tiba saat saya diberi tahu teman tentang kesempatan nulis bareng Maa Rifa'i Rifan. Mas jadi sering bertanya, "Udah nulis? Kapan nulis lagi? Buku apa lagi?" Mas diam-diam suka membaca tulisan saya, meski masih jauh dari kata baik. Buku antologi pertama dengan judul Jangan Manja, kemudian disusul dua buku antologi berikutnya, akhirnya membuat orang tua saya mulai mengerti.
Dan kini, tak ada lagi pertanyaan "buat apa?" Melainkan berganti menjadi, "Mana bukunya? Coba sini Ibu baca." Saya pun hanya tertawa, menunjukkan sekilas covernya, karena nggak PD kalau dibaca Ibu. Diam-diam saat remaja, Ibu ternyata jago membuat cerpen. Skill yang terkubur karena menikah sangat muda, berganti mengurus saya dan kedua saudara saya. Dan saya, tak ingin bernasib sama. Saya masih ingin terus belajar menulis, karena saya tahu, saya tak punya banyak kelebihan. Pendidikan boleh tak tinggi, tapi pengetahuan harus tetap meluas. Semoga bisa segera merampungkan satu buku single dalam waktu dekat.
Stay cool and be your self..  :p
Mimpimu apa? Entahlah.. hehe
Rabu siang, 20 Agustus 2015
Aisyah El Fayruz
@istfun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya.. jangan lupa tinggalkan komentar dan follow g+ yaa.. ^_^