Laman

Label

Sabtu, 08 Agustus 2015

Puingan Sajak Rindu

Langit sendu menawan sepotong rindu. Gemerisik dedaunan mengundang syahdu. Awan mulai menjatuhkan rintiknya. Berdebam perlahan membuat tanah menjadi basah. Sorak riang kicau burung membelah angkasa. Tunggang langgang saling kejar, berbagi tempat untuk merebah.

Gadis itu hanya termangu. Menatap hambar alam yang mulai menggigil. Tatapannya kosong. Menerobos remang-remang gumpalan kabut yang hilir mudik memadati tiap sudut pandang melintang.
Kali ini, bukan lagi karangan imajinasi tentang serangkaian alur kisah cinta seseorang yang terlukis di dalam benaknya. Atau, imajinasi seorang gadis bermata bulat yang merubah bentuk purnama menjadi persegi. Bukan. Bukan tentang serangkaian imajinasi lagi.

Alam memang selalu melukiskan sebuah gambaran kehidupan. Saling silang, saling melengkapi. Tak akan indah belai lembut guyuran hujan jikala engkau tak pernah merasakan teriknya sinar mentari. Begitu pula sebaliknya. Sebab akibat, dan saling berhubungan satu sama lain.
Gadis itu masih tetap termenung. Memandang hamparan hijau rumput di taman seberang yang disapu lebat guyuran hujan. Kembali mengambil tarikan nafas panjang. Sesekali memindah posisi tangan bersendekap, bersila dagu, atau menggumpalkan jemari menahan kedua pipi. Pandangannya masih tetap hambar, menerobos remang kabut yang sedikit demi sedikit mulai menghilang, ikut tersaput derasnya hujan.

Bukan lagi imajinasi konyol yang kini menguasai ruang kerja otaknya. Bukan lagi sajak roman yang tersusun rapih dalam benaknya.

Gadis itu hanya sedang menikmati kemerdekaannya. Sebuah kemenangan dari serangkai kisah konyol yang terajut begitu saja melalui imajinasinya. Mendapati sebuah kebenaran hidup yang tak selalu semanis roti berisi madu, atau segelas susu coklat panas yang menghanyutkan gigil tubuh.


"Merdeka?" 
Satu sisi hati mulai sibuk dengan berbagai sanggahan, membuat sisi bersih hati hendak kembali berkabut.
"Darimana kau bisa bersimpul secepat kilat membelah langit? Atau memang engkau sedang melihat dengan kedua kelopak yang masih terkatup, merekat satu sama lain hingga menghalangi kornea dan retina mata bekerjasama menangkap gambaran kebenaran? Dari mana kemenangan itu ada, jika imajinasinya kembali berbuih dan meletup begitu saja. Bukankah kemenangan bagi imajiner itu hanya ada tatkala imajinasinya benar menyatu dengan dunia nyata. Tatkala impiannya benar terwujud di dunia nyata?"



Duhai angin, sudikah engkau membawa serta puing-puing retak yang berserakan di dasar hati ini? Bawalah. Bawalah semuanya hingga tak bersisa. Apa seberat itu kau menerbangkannya? 
Duhai gemericik hujan yang menghapus kabut sepanjang jalan, sudikah engkau menghapus serta bentangan kisah yang memilukan sukma ini? Rasanya aku tak ingin meniliknya lagi. 
Oh Tuhan.. Kenapa hujan ini selalu menghadirkan sepotong rindu akan sajak.


Menghembus nafas panjang, sejenak kemudian gadis itu kembali tersenyum. Aneh. Mendengarkan percakapan hati saja sudah bagaikan ribut pemilihan daerah. Bagaimana jika satu dunia ini tahu kekonyolan kisah yang ia alami seaungguhnya. Tuhan.. sungguh tak terbayang akan seberapa banyak cerca yang menghias ruang yang kini jelaga, hitam, kusam.

Gadis itu kembali berceletuk dalam hati. Bak pak tua yang asyik menasehati cucunya. Bahwa sebuah kemerdekaan bukan hanya tentang menang kalah perang. Kemerdekaan itu juga bisa menjelma wujud sebagai sebuah kebebasan pemahaman. Pengetahuan dari sebuah kebenaran yang tak tertutup kabut awan. Seperti halnya sebuah kebenaran yang ia ketahui dan terima saat ini, sebuah imajinasi yang tanpa sengaja meretakkan hati dengan pahitnya menanti.

Hidup ini bukan hanya tentang serangkaian kisah yang melintas anggun dalam imajinasi. Hidup ini adalah warna warni takdir yang tak bisa di cat ulang, atau bahkan dicorat-coret sesuka hati. Tapi, imajinasi akan selalu mempunyai ruangnya tersendiri, bagai nyala lilin di tengah redup sinar rembulan hari ke tiga belas. Imajinasi akan tetap menjadi pengindah yang boleh diukir bebas dalam sebuah karya. Dan akan tetap indah bagi setiap penikmatnya. Bahkan meski, tak satupun pernah menjadi nyata.

Gadis itu kembali memasang simpul senyum di bibir mungilnya. Membentuk cekungan bak rembulan di tanggal empat. Memutar kursinya, menarik sebuah kertas dan mengambil pena dari sebuah tas berwarna jingga. Memberanikan diri untuk kembali berimajinasi, dengan puingan sajak yang mengulum rindu di dasar otak. Kembali mengayunkan pena di secarik kertas binder berwarna cerah, tanpa perlu resah dengan akhir yang tak selalu menyamai pikir. Menyusun kembali potongan-potongan rindu dalam sajak yang menggelayut sendu. Bak pelangi melintas mengitari gumpalan awan kelabu.


Gadis itu tetap suka hujan, walau terkadang pahit yang kian terkenang.
Gadis itu tetap suka hujan, walaupun berjuta malaikat yang mampir untuk memungut puing harapan tak pernah menjanjikan sebuah kepastian.
Gadis itu tetap suka hujan, karena di sanalah ia belajar untuk mulai memahami antara imajinasi dan kenyataan pasti.


Gadis itu... tak pernah membenci hujan, sekalipun harus tenggelam di dasar kenangan.

Salam sendu gerimis di penghujung rindu
Oleh : El Fayruz
Sabtu, 8 Agustus 2015
Diantara mendung yang mengapit senja 15.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya.. jangan lupa tinggalkan komentar dan follow g+ yaa.. ^_^