Dua bola mata itu masih tetap sama indah seperti saat pertama kali aku memandangnya. Tatapan polosnya menyiratkan
kedamaian senja, senantiasa menentramkan jiwa setiap mata yang
memandangnya. Bulat dan berhias bulu lentik semakin menambah aura
kecantikan yang ada padanya. Rambut keriting kemerahan menggelayut manja pada
seutas pita merah yang tersemat di kepalanya.
Seketika jantungku pun seolah berhenti berdetak
kala memandang senyum manis dari bibir merahnya yang mungil. Gadis itu duduk di
sampingku, di atas ranjang serba putih. Nampak di pangkuannya sebuah
boneka Teddy Bear yang kuhadiahkan saat ia ulang tahun kemarin.
Aku tak ingat betul apa yang membuatku berada
dalam ruangan berinfus ini. Setahuku, terakhir kali yang aku lakukan adalah
duduk di depan komputer dengan dua pax sigaret yang setia menemani dalam setiap
hari-hariku. Menggeluti pekerjaan sebagai
arsitektur membuatku kerap merasakan kebosanan yang sangat dengan garis-garis
yang harus aku rapikan. Menghitung angka-angka yang sering membuatku pusing. Tapi, semua itu terselamatkan olah sigaret yang setia di sisiku. Tak peduli pagi, siang, atau malam, sigaret selalu ada untuk menyemangatiku dalam berkreasi dan berinspirasi.
Awalnya tak sedikit pun terbesit dalam benakku
untuk hidup sebagai perokok, karena sedari kecil aku sangat benci dengan yang
namanya sigaret. Ayahku yang juga seorang perokok berat selalu menghabiskan
terlalu banyak uang untuk kepuasannya saja. Sedangkan apa yang aku perlukan
kerap tak terwujud karena kurangnya biaya. Namun, siapa yang menyangka kalau akhirnya
aku pun mengikuti jejak ayahku dan ketagihan juga dengan sigaret.
Salah pergaulan telah membuatku terjerumus dalam
jurang yang seharusnya tak aku lalui. Yaah.. Gengsi telah menjadi alasan
pertama kenapa aku tiba-tiba menjadi perokok pasif. Ejekan dari teman-teman
nongkrong membuatku kalut dan merobohkan komitmenku untuk tidak menjadi
perokok. Sebutan “Banci” membuatku nekat menghisap racun mematikan ini. “Bukan Cowok
kalau nggak merokok.”
Mereka semua selalu menyudutkanku hingga
akhirnya aku pun menyerah dengan komitmenku dan mencoba menghisap sigaret yang
mereka tawarkan. Meski awalnya aku harus terbatuk-batuk karena tersedak,
lama-lama aku pun mulai terbiasa berteman sigaret. Setidaknya dalam satu hari
aku selalu menghabiskan tidak kurang dari dua pax untuk kuhisap sebagai teman
minum kopi dan berinspirasi.
Dan pada akhirnya, ratapan sedih dan penyesalan hebat yang kini aku rasakan. Apalagi saat aku harus tergolek lemah di ranjang ini. Air mata pun
tak mampu kubendung lagi ketika melihat putri kecilku di depanku. Memandangku
penuh kecemasan dengan mata cantiknya yang berkaca-kaca. Kirani, putri kecilku
yang baru kemarin usianya genap lima tahun. Namun, kecerdasannya telah
membuatku sangat bangga telah memilikinya.
“Ayah.. Kenapa tidurnya lama sekali?” Dengan
polosnya Kirani mengatakan itu padaku sambil mengusap-usap jemari mungilnya ke
pipiku. Aku yang baru siuman, karena ternyata kemarin pingsan setelah merasakan
batuk hebat hingga banyak darah keluar dari mulutku.
“Tidak apa-apa sayang” Aku pun langsung memeluk putri
semata wayangku dengan erat.
Dua tahun ini aku memang telah merasakan
penurunan drastis dengan kondisi fisikku. Tubuhku makin kurus, mata cekung
dengan lingkaran yang kian menghitam setiap harinya. Sering kurasakan sesak
nafas yang hebat. Seakan hidup segan mati pun tak mau. Selama itu pula aku
merasa diriku semakin mirip Zombie. Yah.. lebih tepatnya Zombigarete, Zombie yang
tak pernah lepas dengan sigaret.
Dokter telah memfonisku terkena penyakit kanker
paru-paru dan tenggorokan yang akhirnya membuatku seolah separuh hidup separuh
mati. Umurku sudah bisa dipastikan tidak akan lama lagi. Dan yang paling
membuatku menyesal, aku akan melewatkan
detik-detik pertumbuhan putri kesayanganku dan mati muda. Hatiku semakin
menjerit kencang karena melihat Kirani harus menjadi putri seorang Zombigarete.
Aku yang menghisap, imbasnya putriku pun mau tak mau telah menjadi perokok
pasif juga.
Andai waktu bisa diulang kembali, aku takkan
pernah menyentuh sigaret dan membuangnya jauh-jauh dari hidupku. Namun apalah
daya, kini aku pun telah menjadi seorang Zombigarete yang hanya tinggal
menunggu malaikat maut menjemputku.
Gambar ini di ambil dari facebook
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis "Diary Sang Zombigarete"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya.. jangan lupa tinggalkan komentar dan follow g+ yaa.. ^_^