Laman

Label

Sabtu, 02 Mei 2015

Kisah di sudut Kantin Sekolah


Kala itu tahun pertama semester keduaku di sebuah sekolah SMA swasta yang tak jauh dari rumah. Tiba tiba Kepala Sekolah menghampiriku dan mengamanahiku sebuah kantin sekolah yang telah lama tak diberfungsikan. Awalnya aku merasa sangat senang mendapatkan kepercaan langsung dari beliau. Kupikir semuanya mudah dan bisa langsung berjalan dengan lancar. Tapi aku salah, semua butuh proses dan perjuangan panjang.

Hanya bermodalkan satu kardus mie instan dan sebuah kulkas pendingin dari coca-cola, aku dan dua temanku belajar menjalankan usaha perdagangan kecil dan pengembangan modal. Untuk semua peralatan, kita menggunakan inventaris kantin yang lama. Masih tersimpan mulai dari mangkok, sendok, garpu, panci dan sebuah kompor gas yang masih menggunakan minyak tanah.

Semenjak hari itu, tak ada lagi jam istirahat bagiku. Kesibukan semakin bertambah, selain harus belajar mata pelajaran yang diajarkan pada umumnya, kini juga harus mengatur perputaran bisnis kecil yang telah menjadi amanahku. Setiap pagi, sebelum bel masuk kelas berbunyi, pasar yang hanya berjarak beberapa meter di bawah gedung sederhana tempatku menimba ilmu menjadi kunjungan rutinku.

Tak jarang aku menjadi bahan bullyan bagi anak-anak SMA yang sekolah di sebrang sekolahku. Dengan berseragam lengkap, berjalan membawa sekardus mie instan, beberapa ikat sawi dan sejurigen minyak tanah isi lima liter. Sesekali harus berhenti di tengah jalan untuk sekedar membetulkan tali sepatu yang terlepas. Itulah rutinitas pagiku, hingga seolah punya hak istimewa keluar masuk gerbang sekolah dan melewati pak penjaga yang berkumis serta bertubuh kekar, tanpa lagi menggunakan buku tatibsi.

Kalau mau sekses harus bisa memutuskan urat malu, begitulah kata para pebisnis yang kukenal. Itu juga salah satu modalku dalam menjalankan amanah yang kupikul. Selain tiap pagi menyempatkan waktu ke pasar, menyisihkan sedikit waktu pelajaran untuk sekedar mempersiapkan semua peralatan berjualan, satu atau setengah jam sebelum bel istirahat berbunyi. Masuk kelas selalu terlambat, tak lupa pula bau parfum mie instan yang menjanggat di seragamku. Selain itu, jam pulang pun semakin siang karena harus membersihkan tiap sudut ruangan kantin dan peralatan dapur terlebih dahulu agar esok bisa langsung digunakan kembali.

Fokusku pun mulai terpecah belah. Saat harus tetap belajar dalam kondisi fisik yang lelah. Belum lagi ulah usil geng kakak kelas yang suka "makan gratis" di kantinku. Bahkan uang jajanku pun tak cukup untuk menutupi kekurangan sebab ulah mereka. Prestasiku mulai berangsur turun, yang awalnya juara paralel menjadi bertahan hanya di lima besar.

Merasa tak sanggup lagi, aku putuskan untuk mengembalikan amanah itu. Tapi sayangnya penolakan yang aku dapatkan. Esoknya kami diberi angpao, sebagai ganti uang lelah 6 bulan merawat kantin. Tak banyak, tapi cukup untuk membeli sepatu baru. Sedari kecil aku terbiasa hidup sederhana. Kalau untuk sekedar sepatu bolong itu sudah biasa, bahkan seragam pun kegedean. Sedikit melupakan keletihan mengurus kantin, rasanya sangat senang bisa membeli sepatu dengan hasil keringat sendiri. Setelah sebelumnya bisa membeli buku dengan uang beasiswa berprestasi.

Menginjak tahun kedua aku SMA. Kantin semakin maju sejak kami di beri bantuan seorang guru untuk mengolahnya. Setidaknya kami jadi memilki penjaga untuk geng yang suka numpang makan gratis. Selebihnya masih bisa kuatasi bersama dua partnerku. Omset terus bertambah semenjak kami menambah variasi dalam menu ekonomis ala anak sekolah. Sejauh ini tak ada masalah yang merisaukan lagi selain hanya letih yang sudah biasa kurasakan.

Kantin itu mengajarkan banyak hal, tentang kerja keras, usaha dan pantang menyerah. Inilah upah sesungguhnya yang kudapatkan. Bukan uang atau sepatu baru, melainkan pengalaman besar merasakan manis asinnya usaha dari nol. Meskipun dari kabar yang kudengar sekarang kantin itu kembali tak ada yang mengurusi lagi, setidaknya dulu aku pernah menorehkan kisah disana. Disudut kantin sekolah SMA.

Dari buku antologi Jangan Manja.. Akhmad Rifa'i Rifan dkk,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya.. jangan lupa tinggalkan komentar dan follow g+ yaa.. ^_^